Artikel

Senin, 24 Mei 2010

Prolog Samhana Sang Imaji


Prolog

Tahun 838 M di desa Prambanan.

Dengan tubuh gemetar dan lemas akibat kehilangan darah yang banyak, ia melontarkan peringatan berisi ancaman untuk terakhir kalinya. Pandangannya tak lepas dari dua sejoli di hadapannya, adik kandungnya dan suaminya yang berbuat nista di belakangnya.
“Jangan kau pikir ini sudah berakhir. Jasadku mungkin sudah hancur dimakan oleh cacing tanah, tapi dendamku tak akan pernah surut. Akan ku siksa dan ku buat hidup anak turunmu menderita hingga mereka merasa menyesal pernah dilahirkan ke dunia ini. Kelak jika kamu melahirkan bayi laki-laki maka ia tak akan berusia lebih dari sepekan, tapi jika ia perempuan……”. Ia sengaja menggantung ancamannya untuk memberi efek mengintimidasi lawan. Ia mendesis lirih, tapi tak berusaha menyembunyikan kemarahannya.

Tak ada satupun yang sanggup memandang wajahnya lebih dari semenit terutama saat ini ketika kemarahannya memuncak, meskipun ia berparas cantik bahkan lebih cantik dari gadis yang berdiri berdampingan dengan pemuda tampan yang balik menatapnya jijik. Seulas senyum dingin menghiasi bibinya yang merah delima. Sorot matanya yang tajam, menyiratkan kekejaman dan dendam membara yang sudah mengurat daging hingga ke sumsum tulang. Kengerian akibat tatapan matanya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dari tubuh yang gemetar dan gigi gemeletuk dari pasangan muda-mudi itu.

“Aku akan mendatangi tiap keturunan perempuanmu yang ke-7. Mereka akan mewarisi seluruh ilmu setanku seperti katamu. Melalui tangannyalah akan ku balaskan seluruh dendamku pada semua umat manusia sampai mereka menyesal telah lahir ke dunia ini. Dan kalian akan menangis darah melihat anak cucumu berubah sepertiku, menjadi wanita iblis, penganut ajaran setan. Ha ha ha …..”. Ia tertawa melengking menyayat hati, mampu membuat setiap orang yang mendengarnya bergidik ngeri, mengerahkan seluruh energi yang tersisa, untuk terakhir kalinya sebelum ajal menjemputnya.

Minggu, 16 Mei 2010

Mafia Berkeliaran, Negara Angkat tangan

Negara pantas mengibarkan bendera putih alias angkat tangan karena tak bisa mengatasi mafia yang bebas berkeliaran khususnya mafia hukum. Carut marut dunia hukum kita semakin menggurita. Ketidak adilan, kesewenang-wenangan, dan arogansi para penegak hukum sering dipertontonkan di depan muka oaring banyak tanpa malu-malu. Mereka tipis telinga dengan kecaman rakyat banyak.
Akhirnya rakyat ambil jalan pintas main hakim sendiri. Tragedi Tanjung priok II dan kerusuhan massa buruh di Batam bisa jadi pelajaran ketidak percayaan rakyat pada penegakan hukum di Indonesia. Bayangkan apa akibatnya jika para pengungsi lumpur Lapindo yang telah lama dizalimi PT Lapinodo Brantas yang main mata dengan pemerintah melakukan aksi serupa untuk menuntut haknya? Wah, bisa terjadi kerusuhan missal seperti tragedy mei 1998 lalu.

Mengapa sih penegakan hukum di negara kita begitu carut marut dan tidak jelas? Ada beberapa alasan. Pertama dari segi individu, aparat penegak hukumnya cacat iman. Keimanan mereka tipis sehingga mudah digoda rayuan uang yang bejibun, kekeuasaan, dan wanita. Ini bisa diakibatkan karena Negara abai dalam pembinaan agama penduduknya sehingga rakyatnya tak takut melakukan maksiat dan tak malu ketahuan. Secara pelajaran agama hanya 2 jam seminggu. Apa yang bisa didapat? Udah gitu cuma teori lagi jarang praktek dan hanya untuk dapat nilai doang, jadi tidak berefek pada peningkatan moral muridnya.

Kedua dari segi masyarakat. Masyarakat kita sakit parah, dan tak menyadari sakitnya dimana. Mereka mendiamkan kejahatan terjadi di depan mata mereka, selama bukan mereka yang jadi korbannya, (baca CUEK abis). Mereka juga terbiasa dengan budaya main belakang untuk menyelesaikan kasus hukum, jadi jangan heran kalo aparat hukumnya pun cacat moral. Mereka refleksi kecacatam moral masyarakat yang hidup di dalamnya.

Ketiga, hukum yang dibuat memang sudah cacat karna banyak pasal yang bertentangan, saling meniadakan, dan memberi lubang para penjahat berkelit dari tuduhan kejahatannya. Hukum yang dibuat berdasarkan akal manusia akan terus-menerus mengalami perubahan karena ditemukan cacat di sana-sini.

Keempat, manajemen konflik yang dikembangkan para penguasa salah. mereka sengaja memunculkan konflik yang baru untuk mengubur konflik yang lama dan itu terus berulang sehingga masalah tidak pernah selesai tuntas. Ketidak tuntasan menyebabkan rakyat tidak puas dan akan menjadi masalah besar di waktu yang akan datang.

Jadi untuk memperbaiki supremasi hukum di Indonesia, tak cukup hanya mengganti orang-orangnya saja, tapi ini melibatkan berbagai bidang, khususnya itikat kuat bermental baja para pemimpin untuk membentuk masyarakat yang beriman.